“Ja..jangan”. Itu kalimat terakhir yang keluar dari bibir gadis itu. Setelahnya, tubuhnya menggelepar hebat. Sakit? Aku tak tahu. Yang jelas tubuhnya membiru, matanya membelalak, liukan-liukan vena yang terlihat seperti ratusan cacing yang merayap naik melawan gravitasi, terlihat jelas dari kulitnya. Ya kalian simpulkan saja sendiri,dia sedang kesakitan atau sedang menari kejang. Hihihi. Aku mengikik sendiri mendengar leluconku yang tak lucu.
Belum selesai kikikan kedua, si gadis sudah berdiri di hadapanku. Bibirnya menyungging senyum.”Hi, Viona”, ucapnya. “Hi, Siska”, jawabku. Lihat. Dia tahu namaku. Aku tahu namanya. Padahal semenit lalu kami berdua saling tak mengenal. Hal ini masih membuatku kagum. Bahkan di usiaku yang ke 105. Kami, para vampire,selalu tahu nama satu sama lain. Tiba-tiba. Caranya simple : Asing –> Bertemu –> Klik! –> Dua vampire kenal satu sama lain. Mengagumkan bukan?
“Aku lapar”,bisiknya. Perempuan ini. Baru semenit jadi vampire sudah lapar. “Oke,ayo kita cari makan di kantin”,kataku sambil tersenyum. “Kantin?”, tanyanya bingung. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Ku ajak dia ke bagian lebih dalam dari gudang tua ini. Sampai kami berdua tiba di satu tempat yang penuh tempat duduk dan etalase kaca. “Ini aku namakan kantin”,bisikku ke telinganya. “Kenapa?”,tanyanya. “Karena…di sini banyak makanan”, ucapku keras sambil melayang ke arah peti besar di sudut ruangan. Kubuka peti. “Kraaak”, deraknya bergema ke seluruh gudang. Lalu kuraih makanan.
Tanganku menyentuh makanan secara acak. Kuraih salah satu, kuangkat cepat dan kulempar ke arah Siska. “Ini saja buatmu.Tangkap!”. Siska menangkap dengan satu tangannya. Mendelik ke arah makanannya yang ternyata seorang gadis kecil. Air liurnya menetes, menjatuhi wajah sang gadis. Sang gadis menjerit-jerit ketakutan. Dan hap…dalam hitungan detik kepala sang gadis sudah terlepas dari tubuhnya, berpindah ke mulut Siska. Suara jeritan gadis kecil masih bergema. Kasihan. Dua bola mata bergulir, berhenti tepat di kakiku….
Arrggggh! Cerita yang buruk. Kuremas-remas kertas di tanganku. Mana mungkin ada hantu sekejam itu. Aku memang tak berbakat menulis. Tba-tiba perutku berbunyi. Lapar. Aku cari makan dulu saja. Segera aku lompat dari batang pohon yang sedari tadi aku duduki. Hap. Lalu kulempar remasan kertas. Wow..kertasnya tepat jatuh di atas kuburanku. Tinta darah menetes ke tanahnya yang basah. Aku melayang pergi.
Gimana? hihihihi *mengikik sendiri membaca flash fiction yang tak lucu*. Gw tau sih flash fictionnya nggak jelek-jelek amat, tapi nggak bagus juga. Tadinya gw sok-sok mau bikin dengan gaya bahasa Murakami yang sederhana tapi nyeleneh dan ajaib in a good way atau kaya JD.Salinger yang lebih sederhana lagi tapi sarkas cerdas, tapi jatohnya tetep gaya bahasa cerpen-cerpen Anita Cemerlang (efek menjadi anak tahun 90an yang besar bersama kakak sepupu cewek semua).
Terus flash fiction gw gak ada pesan moralnya. I know, untuk film, gw against sekali sama orang yang bilang film harus ada pesan moralnya. Film buat gw harus tidak boring. Titik. Soalnya durasinya lama. Males banget buang-buang waktu untuk sesuatu yg membosankan. Tapi untuk sebuah cerpen, yang cuma menghabiskan waktu semenit dua menit untuk dibaca, kayanya kalo ada pesannya (walaupun nggak harus eksplisit) akan lebih meninggalkan kesan yang dalam. The story will linger in readers' mind.
Kalo punya gw? so what? so what kalo penulisnya hantu?Pesannya apa? Jangan makan anak kecil? Terus sehabis membaca, pembaca melanjutkan lagi menggaruk-garuk pantat. Dunia resah karena penggaruk pantat masih berkeliaran. Kalo misalnya cerpen gw tentang pesan moral : bahaya menggaruk pantat, pastinya sehabis membaca cerpen gw, ada sesuatu yang menggerakkan pembaca. Syukur-syukur kalo ada pembaca yang menangis tersedu-sedu dan menyesali kenapa telah menggaruk pantat. "Tidaaaaakk, potong kedua lengan kotor ini", begitu mungkin teriak mereka ke mantri terdekat. Dan dunia akan damai tanpa penggaruk pantat. Cerpen jadi punya impact bagus.
Tapi masalah utamanya di pemilihan kata-kata yang standar sih. Gw akui itu. Ternyata nggak gampang bikin cerita. Padahal cuma cerita pendek gini. Gimana kalo cerita yang panjang, besar, bengkok terus ujungnya besar kaya jamur? Dan selama ini gw membodoh-bodohi penulis-penulis skenario itu di reviewsexy (blog review film gw, buat yang belum tau). Nyesel? Nggak juga sih. Filmnya emang bodoh sih. Hiihihi. Rugi banget udah bayar, ternyata filmnya bodoh.
Aaah...gw jadi meracau padahal nggak ada yang mengkitik-kitik. Kita akhiri saja omong kosong blog ini. Eh, btw, vote cerita gw di
sini ya guys. Pokoknya vote. Nggak harus vote suka (jempol ke atas). Ada juga vote buat yang nggak suka ceritanya (jempol ke bawah). Nah, lu boleh juga kok vote jempol ke bawah, tapi vote itu buat cerita yang lain aja. Jangan cerita gw. Kalo bisa loe ganti-ganti PC. PC yang jaga warnet juga pinjem. Kalo perlu gadaikan keperawanan lu. Ada mbak-mbak lewat lu jambak, lu rebut BB-nya. Ada orang yang naik ke atas sutet buat bunuh diri, lu teriak, "heii...jangan bunuh diri dulu...vote dulu jempol ke bawah buat cerita selain cerita Roid!!". Pokoknya lakukan segala cara deh untuk mencapai keinginan gw. Ya?ya?ya? *pantesan flash fiction-nya nggak ada pesan moralnya, blognya tak bermoral gini*
PS : Eh, it's such a pleasure to me if u care to give critic to my flash fiction. Sweet, harsh, normal, misionaris, hardcore, sodomasochist, any kind of critic. Surprise me, babe. Hihihihi *mengikik kecil lalu berlari ke tempat tidur memakai lingerie*
PS Lagi : Ubud ternyata kalo dibalik jadi dubu ya?sinonimnya panta..wow..ga salah kan gw kalo aura nama Flash Fiction itu jadi seperti dildo *again,tergantung otak yang mikir, Roid Cabul!*